Filosofi Agung Candi Borobudur
Sobat klikponsel, dari sekian banyak keajaiban dunia, ada satu yang berdiri megah di jantung Pulau Jawa, Indonesia. Bukan sekadar tumpukan batu kuno, melainkan sebuah mahakarya arsitektur dan spiritual yang telah bertahan melintasi ribuan tahun. Ya, kita bicara tentang Candi Borobudur. Situs warisan dunia UNESCO ini bukan hanya menarik jutaan wisatawan, tetapi juga menyimpan sejarah yang kaya dan filosofi mendalam yang terukir di setiap reliefnya. Mari kita telusuri bersama kisah pembangunan, makna tersembunyi, dan mengapa Borobudur pantas menyandang gelar Candi Buddha terbesar di dunia.
Sejarah Borobudur: Dari Misteri Pembangunan hingga Penemuan Kembali
Borobudur, terletak di Magelang, Jawa Tengah, bukanlah candi biasa. Ukurannya yang kolosal dan detailnya yang rumit menjadikannya salah satu struktur paling mengesankan yang pernah dibangun.
Siapa yang Membangun Borobudur?
Pembangunan Borobudur diperkirakan dimulai pada abad ke-8 Masehi, sekitar tahun 780 hingga 840 Masehi, pada masa pemerintahan Wangsa Syailendra. Wangsa ini adalah penguasa kerajaan Mataram Kuno yang menganut agama Buddha Mahayana.
Tidak ada catatan tertulis yang pasti mengenai arsitek utamanya, namun legenda menyebutkan nama Gunadharma. Pembangunan candi ini memakan waktu puluhan tahun, diperkirakan sekitar 75 hingga 100 tahun. Prosesnya melibatkan jutaan balok batu andesit yang diambil dari sungai-sungai terdekat dan diangkut menuju lokasi pembangunan. Menariknya, Borobudur dibangun tanpa menggunakan semen atau perekat. Batu-batu tersebut disusun sedemikian rupa menggunakan sistem interlock atau saling kunci yang sangat presisi, menunjukkan kecanggihan teknologi dan ilmu matematika pada masa itu.
Era Keemasan dan Misteri Terkubur
Setelah selesai, Borobudur menjadi pusat ziarah umat Buddha selama berabad-abad. Ribuan orang datang untuk melakukan ritual spiritual, berjalan kaki mengelilingi tingkatannya sambil merenungkan ajaran Buddha yang tergambar pada relief.
Namun, sekitar abad ke-10 hingga abad ke-11 Masehi, Borobudur ditinggalkan. Perpindahan pusat kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno ke Jawa Timur, serta letusan dahsyat Gunung Merapi, diduga menjadi alasan utama mengapa candi ini terlantar. Seiring berjalannya waktu, Borobudur tertutup lapisan tanah, debu vulkanik, dan semak belukar. Ia seolah lenyap dari ingatan sejarah selama hampir seribu tahun, menjadi dongeng dan mitos lokal.
Penemuan Kembali dan Restorasi
Candi raksasa ini ditemukan kembali pada tahun 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris saat itu, yang mendapatkan laporan dari penduduk setempat mengenai adanya bukit misterius yang penuh ukiran batu. Raffles memerintahkan seorang insinyur Belanda, H.C. Cornelius, untuk membersihkan situs tersebut.
Setelah penemuan itu, serangkaian upaya restorasi dilakukan. Restorasi terbesar dan paling penting dilakukan oleh Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan UNESCO pada tahun 1975 hingga 1982. Proyek raksasa ini melibatkan pembongkaran total candi, penataan ulang fondasi, dan pemasangan kembali jutaan batu. Berkat upaya inilah, kita kini dapat menyaksikan Borobudur dalam keagungan aslinya. Pada tahun 1991, Borobudur resmi ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.
Filosofi Borobudur: Perjalanan Menuju Nirwana
Borobudur bukan sekadar monumen, melainkan representasi fisik dari ajaran Buddha Mahayana. Strukturnya dirancang sebagai replika tiga alam semesta, atau tingkatan kosmis, yang harus dilalui manusia dalam perjalanan spiritual menuju kesempurnaan atau Nirwana.
Secara vertikal, Borobudur terdiri dari sepuluh tingkat (enam tingkat berbentuk persegi, tiga tingkat berbentuk lingkaran, dan satu stupa induk di puncak), yang melambangkan tahapan Bodhisattva (calon Buddha).
1. Kamadhatu (Alam Nafsu)
Tingkat paling bawah Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu alam dunia yang masih terikat pada nafsu dan hasrat duniawi. Bagian ini aslinya tertutup oleh tumpukan batu yang disebut Undak-undak atau Kakibumi (kaki bukit), yang berfungsi sebagai penahan struktur.
Meskipun tertutup, para arkeolog menemukan bahwa kaki candi ini memiliki relief tersembunyi (Karmawibhangga) yang menggambarkan hukum karma. Relief ini menunjukkan konsekuensi dari perbuatan baik dan buruk manusia, sebagai pengingat akan pentingnya pengendalian diri.
2. Rupadhatu (Alam Bentuk)
Enam tingkat persegi di atas Kamadhatu melambangkan Rupadhatu, yaitu alam di mana manusia telah membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat pada bentuk dan wujud. Di tingkat ini, para peziarah mulai fokus pada meditasi dan ajaran.
Ciri khas Rupadhatu adalah relief yang sangat padat dan detail, menceritakan kisah kehidupan Buddha Gautama (Jataka dan Lalitavistara), perjalanan para Bodhisattva, dan ajaran filosofis. Peziarah berjalan searah jarum jam (Pradaksina) sambil membaca dan merenungkan kisah-kisah tersebut, seolah-olah mengikuti jejak spiritual Buddha.
3. Arupadhatu (Alam Tak Berbentuk)
Tiga tingkat melingkar di atas Rupadhatu melambangkan Arupadhatu, yaitu alam tertinggi yang telah terbebas dari segala bentuk dan materi. Ini adalah tahap transendensi sejati, di mana fokus sepenuhnya beralih ke spiritualitas murni.
Di tingkat ini, relief sudah tidak ada. Sebaliknya, terdapat 72 stupa kecil berongga yang menaungi patung Buddha. Bentuk stupa yang berlubang melambangkan ketidakterikatan pada wujud fisik. Patung Buddha di dalamnya seolah-olah tersembunyi, melambangkan konsep Nirwana yang abstrak dan tak terkatakan.
Stupa Utama: Simbol Nirwana
Puncak dari Borobudur adalah Stupa Induk yang besar dan tertutup. Stupa ini melambangkan Nirwana sejati, tujuan akhir dari perjalanan spiritual. Area di sekitar stupa induk adalah titik tertinggi yang tenang, melambangkan kesempurnaan, kekosongan, dan pembebasan mutlak dari siklus penderitaan (samsara).
Borobudur sebagai Objek Wisata dan Pusat Spiritual
Saat ini, Borobudur berfungsi ganda: sebagai tujuan wisata budaya dan sejarah terkemuka di Indonesia, serta sebagai pusat ziarah agama Buddha terutama saat perayaan Hari Raya Waisak. Ribuan biksu dan umat Buddha dari berbagai penjuru dunia berkumpul di Borobudur untuk mengikuti ritual suci, yang menegaskan kembali peran candi ini sebagai pusat spiritual yang hidup.
Keagungan Borobudur tidak hanya terletak pada ukurannya, tetapi juga pada warisan filosofisnya yang mengajarkan tentang perjalanan hidup, pengendalian diri, dan pencarian makna spiritual. Ia adalah simbol keharmonisan, kecanggihan peradaban masa lalu, dan pengingat abadi akan kekayaan budaya Indonesia.
Sobat klikponsel, kunjungan ke Borobudur adalah perjalanan waktu, sejarah, dan spiritual. Ia menawarkan lebih dari sekadar pemandangan, tetapi juga pelajaran tentang kehidupan yang terukir abadi di atas batu.
Sudahkah Anda merencanakan kunjungan untuk menyaksikan keajaiban Borobudur secara langsung? Bagikan pengalaman Anda di kolom komentar!