Karhutla: Luka Abadi yang Terus Terulang
Sobat klikponsel, setiap tahun saat musim kemarau tiba, ada satu bencana alam yang seolah menjadi tamu tak diundang yang selalu datang kembali: Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di Kalimantan dan Sumatra. Topik ini selalu menjadi trending bukan karena keindahan, melainkan karena dampak buruknya yang menghancurkan, baik bagi lingkungan, kesehatan, maupun citra bangsa. Kabut asap tebal yang menyelimuti wilayah luas, mengganggu penerbangan, dan menyebabkan ribuan orang sakit, seolah menjadi siklus tahunan yang sulit diputus. Lalu, mengapa bencana ini terus berulang? Apa akar masalahnya, dan upaya apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan “luka abadi” ini? Mari kita kupas tuntas.
Karhutla: Tragedi yang Berulang di Musim Kemarau
Kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatra bukanlah fenomena baru. Peristiwa besar telah terjadi berulang kali sejak akhir tahun 1990-an. Namun, intensitas dan frekuensinya meningkat signifikan dalam dua dekade terakhir, terutama pada tahun-tahun El Niño kuat yang memicu kemarau panjang.
Dampak dari Karhutla sangat luas, mencakup tiga aspek utama:
-
Kesehatan: Kabut asap tebal yang dihasilkan mengandung partikel berbahaya (PM2.5) yang dapat menyebabkan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), iritasi mata, dan memperburuk penyakit pernapasan kronis.
-
Lingkungan: Kebakaran menghancurkan hutan primer, membunuh satwa liar endemik seperti orangutan, dan melepaskan karbon dalam jumlah besar, berkontribusi signifikan terhadap krisis iklim global.
-
Ekonomi dan Sosial: Kerugian ekonomi akibat gangguan penerbangan, penurunan produktivitas kerja, dan biaya kesehatan mencapai triliunan rupiah setiap tahun. Selain itu, konflik sosial sering muncul antara masyarakat adat dan korporasi.
Menguak Akar Masalah: Mengapa Kebakaran Sulit Dihentikan?
Untuk mengatasi Karhutla, kita harus memahami bahwa penyebabnya sangat kompleks, melibatkan faktor alam, ekonomi, dan kebijakan.
1. Faktor Alam: Gambut yang Sensitif
Faktor alam yang paling krusial di Sumatra dan Kalimantan adalah keberadaan lahan gambut. Gambut adalah lapisan tanah yang terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang membusuk dalam kondisi jenuh air selama ribuan tahun.
-
Sifat Mudah Terbakar: Gambut kering sangat mudah terbakar dan api bisa menjalar ke bawah permukaan (api dalam tanah) selama berminggu-minggu tanpa terlihat.
-
Emisi Karbon Tinggi: Ketika terbakar, gambut melepaskan karbon yang tersimpan selama ribuan tahun dalam jumlah masif, jauh lebih besar daripada kebakaran hutan biasa.
-
Pola Pengeringan: Musim kemarau ekstrem akibat El Niño membuat permukaan gambut mengering, menciptakan “bahan bakar” yang siap terbakar.
2. Faktor Manusia: Pembukaan Lahan dengan Cara Bakar
Meskipun faktor alam menyediakan kondisi yang tepat, mayoritas kebakaran (lebih dari 90%) disebabkan oleh aktivitas manusia. Praktik yang paling dominan adalah pembukaan lahan (land clearing) dengan cara membakar.
-
Motivasi Ekonomi: Metode bakar adalah cara tercepat dan termurah untuk membersihkan lahan, terutama untuk pembukaan perkebunan skala besar (sawit dan kayu pulp) maupun pertanian subsisten skala kecil.
-
Kelalaian: Ada kasus di mana api menyebar dari lahan yang dibuka secara legal atau dari kegiatan pertanian kecil yang tidak terkontrol.
-
Konflik Lahan: Seringkali, Karhutla terjadi di area yang tumpang tindih kepemilikannya antara korporasi, masyarakat adat, dan negara, menjadikannya masalah yang sulit diselesaikan secara hukum.
3. Pola Berulang: Lemahnya Penegakan Hukum dan Tata Kelola Lahan
Karhutla menjadi siklus tahunan karena adanya pola berulang yang menunjukkan kelemahan dalam tata kelola dan penegakan hukum:
-
Izin yang Rentan: Pemberian izin konsesi yang tumpang tindih dan di area gambut rentan memicu pembakaran ilegal oleh oknum yang ingin segera memanfaatkan lahan.
-
Penegakan Hukum yang Lunak: Meskipun pemerintah telah menetapkan sanksi tegas bagi pembakar lahan, implementasi di lapangan masih sering dianggap lunak atau tidak konsisten, sehingga tidak menimbulkan efek jera yang kuat bagi korporasi besar.
Upaya Pencegahan yang Mendesak dan Solusi Jangka Panjang
Menghentikan siklus Karhutla membutuhkan upaya multisektoral, bukan hanya saat api sudah berkobar. Pencegahan harus menjadi fokus utama, dengan menekankan pada restorasi ekosistem dan penegakan hukum yang tegas.
1. Restorasi dan Tata Kelola Gambut
Indonesia telah membentuk Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) untuk fokus pada restorasi ekosistem.
-
Revisi Izin dan Moratorium: Pemerintah harus tegas memberlakukan moratorium pembukaan lahan gambut baru dan meninjau ulang izin konsesi yang berada di area gambut rentan.
-
Rehabilitasi Hidrologi: Ini adalah kunci. Dilakukan pembangunan sekat kanal, sumur bor, dan embung air untuk menjaga permukaan air gambut tetap basah. Gambut yang basah tidak akan terbakar.
-
Edukasi dan Pemberdayaan Masyarakat: Masyarakat yang tinggal di sekitar lahan gambut diajak untuk bertani tanpa bakar (zero burning), dengan diberikan insentif dan pelatihan pertanian modern.
2. Penegakan Hukum yang Tegas dan Konsisten
Penegakan hukum yang kuat sangat penting untuk memberikan efek jera.
-
Sanksi Pidana dan Perdata: Proses hukum harus berjalan cepat dan transparan, baik terhadap individu maupun korporasi yang terbukti bertanggung jawab atas kebakaran.
-
Pencabutan Izin: Pencabutan izin usaha bagi korporasi yang terbukti lalai dan menyebabkan kebakaran adalah langkah yang harus dilakukan tanpa kompromi.
-
Pengawasan Teknologi: Pemanfaatan teknologi seperti satelit monitoring dan drone untuk memantau titik api (hotspot) dan mengidentifikasi pelaku pembakaran secara real-time.
3. Kemitraan Regional dan Internasional
Bencana asap Karhutla bersifat lintas batas, membutuhkan kerja sama regional.
-
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution: Perjanjian ini harus diimplementasikan secara efektif, dengan pembagian informasi yang cepat mengenai titik api dan upaya pencegahan.
-
Dukungan Pendanaan: Kemitraan internasional dapat memberikan dukungan pendanaan untuk kegiatan restorasi gambut dan pengembangan teknologi pencegahan kebakaran.
Kesimpulan: Mengubah Paradigma dari Responsif ke Preventif
Sobat klikponsel, Karhutla di Kalimantan dan Sumatra adalah masalah serius yang mengancam paru-paru dunia. Bencana ini menunjukkan kegagalan kita dalam menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi jangka pendek dan keberlanjutan lingkungan jangka panjang. Kita harus mengubah paradigma, dari yang awalnya hanya reaktif (memadamkan api) menjadi preventif (mencegah kebakaran).
Dengan penegakan hukum yang tidak pandang bulu, restorasi ekosistem gambut secara masif, dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat untuk menghentikan praktik bakar lahan, siklus tahunan kabut asap ini pasti bisa diputus. Masa depan yang bebas asap tebal dan lingkungan yang sehat adalah hak seluruh masyarakat, dan itu dimulai dari komitmen kita hari ini.











