Melestarikan Kesenian Tradisional Nusantara

 

Sobat klikponsel, coba jujur, seberapa sering Anda menonton pertunjukan tari tradisional atau mendengarkan musik daerah dibandingkan menonton film terbaru di bioskop atau scrolling TikTok? Kita hidup di era digital, di mana informasi dan hiburan instan membanjiri layar kita. Akses yang mudah ini memang luar biasa, tetapi ada harga yang harus kita bayar: kesenian tradisional kita, yang kaya akan makna dan sejarah, kini terancam punah. Banyak warisan budaya adi luhung yang usianya sudah ratusan tahun, kini hanya diketahui segelintir orang tua, dan asing di telinga generasi muda kita.

Ini bukan sekadar masalah kehilangan pertunjukan. Ini adalah masalah kehilangan identitas bangsa. Indonesia memiliki ribuan suku bangsa, dan setiap suku memiliki bentuk seni yang unik. Mari kita selami lebih dalam beberapa seni tari, musik, dan teater tradisional yang kini sedang berjuang untuk tetap hidup, dan bagaimana kita bisa menjadi bagian dari upaya pelestariannya.

Seni Tari: Keindahan Gerak yang Menghilang

Tari tradisional Indonesia bukan hanya rangkaian gerakan indah; ia adalah narasi visual yang menceritakan sejarah, mitologi, dan filosofi hidup suatu daerah. Sayangnya, banyak di antaranya yang mulai terlupakan.

1. Tari Topeng Betawi: Ekspresi Karakter yang Terancam

Saat berbicara tentang Jakarta, yang terbayang mungkin Monas atau kemacetan. Namun, Jakarta, atau Betawi, punya warisan seni yang unik, salah satunya Tari Topeng Betawi. Tarian ini adalah teater rakyat yang menggabungkan tari, musik, dialog, dan lawakan. Karakter utamanya adalah topeng-topeng dengan ekspresi yang berbeda-beda, mewakili berbagai lapisan masyarakat.

Mengapa Terancam: Jumlah penari dan nayaga (pemain musik pengiring) yang menguasai seni ini semakin berkurang. Tuntutan kehidupan modern membuat generasi muda enggan menekuni seni ini karena dianggap tidak menjanjikan secara finansial. Musik pengiringnya, seperti gendang, rebab, dan kromong, memerlukan keahlian khusus yang sulit dipelajari.

2. Tari Saman: Dari Puncak Popularitas Menuju Tantangan Pelestarian

Meskipun Tari Saman dari Aceh sudah diakui UNESCO, tantangan pelestarian tetap ada. Saman dikenal dengan kecepatan dan ketepatan gerakan tangan, tepukan dada, dan koordinasi yang luar biasa tanpa iringan alat musik. Keindahannya terletak pada sinkronisasi ratusan penari yang duduk berbaris.

Tantangan: Generasi muda mungkin hanya melihat Saman sebagai pertunjukan keren. Tantangan utamanya adalah mempertahankan nilai-nilai spiritual dan aturan adat yang melingkupi tarian ini, serta memastikan tarian ini diajarkan dengan benar, tidak hanya sebagai hiburan semata.

3. Tari Suling Dewa: Ritual dari Lombok

Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, terdapat Tari Suling Dewa. Tarian ini bukanlah tontonan biasa, melainkan tarian ritual yang dilakukan saat musim kemarau panjang. Tarian ini diiringi oleh alat musik suling dan dipercaya dapat memanggil hujan.

Keunikan: Karena sifatnya yang sakral dan hanya dilakukan pada waktu tertentu, tarian ini jarang terekspos. Pengetahuan tentang ritual dan gerakan ini diwariskan secara lisan, membuat kerentanan terhadap kepunahan sangat tinggi jika generasi penerusnya tidak ada.

Seni Musik: Melodi-Melodi Sunyi dari Daerah Terpencil

Musik tradisional adalah denyut nadi budaya. Alat musik dan melodi yang dihasilkan mencerminkan jiwa suatu komunitas. Sayangnya, banyak alat musik dan genre musik tradisional yang kalah bersaing dengan musik pop modern.

1. Musik Sasando: Senar dari Timur yang Terabaikan

Sasando adalah alat musik petik tradisional dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Bentuknya unik, terbuat dari anyaman daun lontar yang berfungsi sebagai resonator, menghasilkan suara merdu seperti harpa.

Ancaman: Meskipun keindahan suaranya tidak diragukan, proses pembuatan sasando yang rumit dan terbatasnya maestro yang mahir memainkannya membuat alat musik ini semakin langka. Musik yang dihasilkan pun kurang diminati di kancah musik nasional. Sasando perlu diangkat kembali agar dikenal sebagai salah satu alat musik paling eksotis di dunia.

2. Gamelan Sekaten: Nada Sakral yang Jarang Terdengar

Di Jawa, selain gamelan biasa, ada Gamelan Sekaten. Gamelan ini hanya dibunyikan pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Suaranya khas dan berbeda dari gamelan biasa.

Keterbatasan: Karena sifatnya yang sakral dan terikat waktu, banyak masyarakat, bahkan yang tinggal di Jawa, tidak pernah mendengarkan Gamelan Sekaten secara langsung. Kurangnya kesempatan untuk mendengarkan dan mempelajarinya membuat kesenian ini menjadi eksklusif dan terancam tidak dikenal oleh publik luas.

Seni Teater dan Sastra Lisan: Kisah-Kisah yang Memudar

Teater dan sastra lisan adalah cermin dari kearifan lokal. Mereka mengajarkan moral, sejarah, dan nilai-nilai kehidupan.

1. Makyong: Drama Melayu yang Hampir Terlupakan

Makyong adalah teater tradisional dari budaya Melayu (terutama Riau dan Kepulauan Riau). Makyong menggabungkan tarian, nyanyian, musik, dan dialog. Kisah-kisahnya biasanya berlatar istana dan mitologi.

Masalah Pelestarian: Makyong membutuhkan durasi pertunjukan yang panjang dan pemahaman bahasa Melayu kuno, membuatnya sulit dicerna oleh penonton modern. Jumlah seniman Makyong yang fasih sangat sedikit, dan regenerasi menjadi masalah krusial.

2. Mamanda: Komedi Khas Kalimantan Selatan

Mamanda adalah teater rakyat dari Kalimantan Selatan yang ceritanya sering diselipi lelucon dan kritik sosial. Mirip dengan teater modern, Mamanda memiliki peran raja, menteri, prajurit, dan karakter lucu.

Tantangan: Sama seperti teater tradisional lainnya, Mamanda kesulitan bersaing dengan format hiburan yang lebih cepat dan visual. Banyak penonton muda yang merasa durasinya terlalu lama dan bahasanya kurang familiar.

Solusi Digital: Menyelamatkan Warisan Melalui Teknologi

Ancaman kepunahan kesenian tradisional memang nyata, namun teknologi digital bisa menjadi penyelamat. Kita tidak bisa meminta generasi muda meninggalkan gadget, tetapi kita bisa membawa warisan ini ke dalam gadget mereka.

  1. Digitalisasi Konten: Dokumentasi video berkualitas tinggi, arsip digital, dan e-book tentang sejarah dan filosofi kesenian wajib dibuat. Konten ini harus mudah diakses di platform seperti YouTube dan Spotify.
  2. Kurikulum Kreatif: Memasukkan kesenian tradisional ke dalam kurikulum sekolah dengan cara yang menarik, seperti melalui workshop atau ekstrakurikuler yang fokus pada kreasi kontemporer berbasis tradisi.
  3. Kolaborasi dan Fusi: Seniman muda harus didorong untuk menciptakan karya fusi—menggabungkan elemen musik tradisional, seperti sasando atau gamelan, dengan musik modern. Kolaborasi ini membuat kesenian terasa relevan dan cool bagi anak muda.
  4. Promosi di Media Sosial: Menggunakan platform seperti TikTok dan Instagram untuk mempromosikan cuplikan pendek dan menarik dari kesenian ini. Misalnya, membuat tantangan tarian Makyong yang disederhanakan.

Kesimpulan: Tanggung Jawab Kita Bersama

Sobat klikponsel, kesenian tradisional adalah harta tak ternilai yang diwariskan oleh leluhur kita. Keindahan, filosofi, dan kerumitan tekniknya jauh melampaui hiburan sesaat. Jika kita tidak peduli, dalam beberapa dekade ke depan, Tari Topeng, Sasando, dan Makyong hanya akan menjadi entri di Wikipedia, bukan lagi pengalaman nyata yang bisa dinikmati.

Tanggung jawab untuk melestarikan warisan ini ada di pundak kita, generasi muda yang melek teknologi. Jangan hanya menjadi penonton, jadilah agen perubahan. Mulailah mencari tahu, tonton video dokumentasinya, dukung seniman lokal, dan ajak teman-teman Anda untuk mengapresiasi keindahan abadi dari warisan Nusantara. Apakah Anda siap mengambil peran ini?

Melestarikan Kesenian Tradisional Nusantara | Pira Zin | 4.5