Cut Nyak Dien, Srikandi Aceh Abadi

 

Sobat klikponsel, ketika kita membicarakan tentang pahlawan nasional, nama Cut Nyak Dien pasti terlintas di benak. Dia bukan sekadar tokoh sejarah; Cut Nyak Dien adalah simbol keberanian, keteguhan iman, dan semangat perlawanan yang tak pernah padam dari bumi Serambi Mekkah, Aceh. Dalam setiap lembar sejarah perjuangan melawan kolonial Belanda, kisahnya selalu dikenang sebagai salah satu yang paling heroik. Ia adalah srikandi pejuang yang menolak tunduk, bahkan ketika segala yang dicintainya telah direnggut. Mari kita telusuri kembali kisah heroik ini, sebuah perjalanan panjang perlawanan wanita bangsawan yang diasingkan hingga akhir hayatnya.

Kelahiran Seorang Bangsawan yang Ditakdirkan Berjuang

Cut Nyak Dien lahir pada tahun 1848 di Lampadang, Aceh Besar, dari keluarga bangsawan yang sangat taat beragama. Ayahnya, Teuku Nanta Seutia, menjabat sebagai uleebalang (pemimpin wilayah) VI Mukim. Dibesarkan dalam lingkungan yang terhormat dan agamis, Dien dikenal sebagai gadis yang cantik dan cerdas. Sejak kecil, ia mendapatkan pendidikan agama dan pengetahuan tentang adat istiadat Aceh.

Pada tahun 1862, Dien menikah dengan suami pertamanya, Teuku Cik Ibrahim Lamnga, seorang bangsawan dan pejuang yang berwawasan luas. Kehidupan rumah tangga mereka yang harmonis dan dikaruniai seorang putra harus terganggu oleh pecahnya Perang Aceh pada tahun 1873.

Tahun-tahun awal perang membawa duka mendalam. Belanda, dengan ambisi menguasai seluruh Nusantara, melancarkan serangan besar-besaran. Wilayah VI Mukim, tempat tinggal Dien, berhasil direbut oleh Belanda pada tahun 1874. Kenyataan pahit ini memaksa Dien dan rakyatnya untuk mengungsi.

Api Perlawanan yang Menyala dari Sebuah Sumpah

Puncak dari penderitaan dan duka bagi Dien datang pada tahun 1878. Suami tercintanya, Teuku Cik Ibrahim Lamnga, gugur di medan perang di Gle Tarum. Kabar duka ini sungguh menghancurkan hati Dien. Tetapi, kesedihan tidak membuatnya terpuruk selamanya. Justru, kematian suaminya menjadi pemantik api perlawanan yang membara di dalam dirinya.

Di hadapan jenazah suaminya, Dien mengucapkan sumpah yang terkenal: ia bersumpah akan menghancurkan Belanda sampai ke akar-akarnya. Sumpah ini bukan hanya janji pribadi, melainkan deklarasi perang abadi seorang wanita Aceh terhadap penjajah. Sejak saat itu, Dien memutuskan untuk mengangkat senjata dan melanjutkan perjuangan suaminya.

Bersama Teuku Umar: Pasangan Pejuang yang Melegenda

Pada tahun 1880, seorang tokoh pejuang Aceh yang cerdik, Teuku Umar, melamar Cut Nyak Dien. Awalnya, Dien menolak lamaran tersebut. Namun, tekad Umar untuk ikut bertempur dalam medan perang demi membalas kematian Ibrahim Lamnga akhirnya meluluhkan hati Dien. Mereka menikah, dan pernikahan ini menjadi aliansi politik sekaligus militer yang sangat kuat.

Bergabungnya Dien dan Umar membentuk pasangan pejuang yang melegenda dan sangat ditakuti Belanda. Keduanya menerapkan taktik perang gerilya yang efektif. Mereka menyerang pos-pos Belanda secara mendadak, menghilang ke dalam hutan, dan mengobarkan semangat perang fi’sabilillah (perang di jalan Allah) di kalangan rakyat Aceh.

Taktik Cerdik ‘Pengkhianatan’ Teuku Umar (Het verraad van Teukoe Oemar)

Perjuangan mereka memasuki babak baru ketika Teuku Umar melancarkan siasat brilian yang dikenal sebagai “Pengkhianatan Teuku Umar.” Pada tahun 1893, Umar berpura-pura menyerahkan diri dan bersekutu dengan Belanda. Tindakan kontroversial ini membuatnya dicap sebagai pengkhianat oleh sebagian rakyat Aceh, bahkan dicemooh oleh pejuang wanita lainnya, Cut Nyak Meutia.

Namun, Dien, sebagai istri dan rekan seperjuangan yang cerdas, memahami bahwa ini adalah strategi. Selama berada di pihak Belanda, Umar berhasil mengumpulkan informasi militer penting, mempelajari taktik musuh, dan yang paling krusial, mengumpulkan senjata dan amunisi dalam jumlah besar.

Pada tahun 1896, Umar melancarkan aksi pengkhianatan sejati: ia kabur dari kubu Belanda, membawa serta semua senjata dan amunisi yang telah ia kumpulkan. Aksi ini membuat Belanda murka besar dan melancarkan perburuan sengit. Pasukan Aceh yang kini dipersenjatai lengkap dari hasil rampasan Belanda, semakin tangguh dan membuat Belanda kewalahan.

Menjanda Lagi, Berjuang Sampai Titik Darah Penghabisan

Sayangnya, kebersamaan pasangan pejuang ini tidak berlangsung lama. Pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur dalam pertempuran di Meulaboh. Kematian kedua suaminya ini tidak mematahkan semangat Dien. Justru, hal itu semakin memperkuat tekadnya.

Dien mengambil alih komando penuh atas pasukan gerilya. Ia memimpin perlawanan dari pedalaman Meulaboh. Walaupun usianya semakin menua, kondisi fisiknya melemah, dan ia menderita rabun serta penyakit encok, semangatnya tak pernah padam. Dia memimpin pasukannya berpindah-pindah hutan, menolak menyerah dan terus mengobarkan semangat jihad. Sikap pantang menyerah ini menjadikannya simbol tak tergantikan bagi perlawanan rakyat Aceh.

Akhir Perjuangan dan Pengasingan

Tahun-tahun berlalu, dan situasi gerilya semakin sulit. Pasukan Dien terus berkurang, dan mereka kesulitan mencari makanan. Kondisi Dien yang semakin memburuk dan terus berjuang, bahkan harus ditandu, membuat iba salah satu pengawalnya, Pang Laot. Karena rasa kasihan dan khawatir Dien akan meninggal di hutan tanpa perawatan, Pang Laot Ali diam-diam melaporkan lokasi persembunyian mereka kepada Belanda pada tahun 1905.

Belanda menyerang markas Dien di Beutong Le Sageu. Meski terkejut, pasukan Dien bertempur mati-matian. Ketika Belanda mencoba menangkapnya, Dien dengan sisa kekuatannya mencoba melawan menggunakan rencong. Namun, upaya itu berhasil digagalkan. Dien ditangkap.

Setelah ditangkap, Dien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat. Kesehatan fisiknya sempat membaik, tetapi semangat juangnya tetap membara. Khawatir keberadaan Dien di Aceh akan terus mengobarkan semangat perlawanan, Belanda memutuskan untuk mengasingkannya jauh dari tanah kelahirannya.

Pada tahun 1907, Cut Nyak Dien dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, bersama tahanan politik lainnya. Di pengasingan, ia dikenal sebagai “Ibu Perbu” oleh penduduk setempat. Setahun kemudian, pada tanggal 6 November 1908, Srikandi dari Tanah Aceh ini menghembuskan napas terakhirnya di Sumedang, jauh dari tanah yang ia perjuangkan dengan sepenuh jiwa.

Warisan Semangat Tak Tergoyahkan

Perjuangan Cut Nyak Dien, dari awal hingga akhir, adalah cerminan dari semangat perlawanan total rakyat Aceh terhadap penjajahan. Ia membuktikan bahwa seorang perempuan dapat menjadi pemimpin perang yang tangguh, ahli strategi, dan simbol perlawanan yang tak kenal lelah. Pemerintah Indonesia mengukuhkan warisan kepahlawanannya dengan menganugerahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada tahun 1964.

Kisah hidupnya menjadi inspirasi abadi, mengajarkan kita tentang pentingnya integritas, keberanian, dan pengorbanan demi tanah air. Cut Nyak Dien adalah legenda yang hidup, warisannya akan terus mengobarkan semangat nasionalisme di hati setiap generasi.

Cut Nyak Dien, Srikandi Aceh Abadi | Pira Zin | 4.5